Revolusi China


Revolusi China tidak hanya ditandai dengan gerakan menumbangkan Dinasati Manchu tahun 1912 melainkan juga revolusi kebudayaan dalam menata masyarakat China menuju masyarakat yang yang lebih baik. Dalam revolusi tersebut, faham nasionalis yang diadopsi dari negara-negara Eropa Barat dan komunis dari Rusia menjadi dasar dalam gerakan nasional. Persaingan antara kaum nasionalis dan komunis menandai gerakan revolusi yang berlangsung hingga terbentuknya Republik Rakyat China tahun 1949.


1. Revolusi Menumbangkan Dinasati Manchu


Yuan shih kai


Revolusi China tahun 1911-1912 ditandai dengan gerakan nasional untuk menggulingkan Dinasti Manchu yang telah berkuasa selama ratusan tahun. Runtuhnya Dinasti Manchu tahun 1912 merupakan awal dari gerakan perubahan dalam masyarakat China menuju masyarakat modern yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme. Gerakan tersebut diteruskan dengan gerakan nasional China untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengadopsi nilai-nilai nasionalisme dari Barat serta meruntuhkan tatanan masyarakat feodal yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam sejarah China, peristiwa menumbangkan Dinasti Manchu dan gerakan nasional dianggap sebagai bagian dari revolusi besar dunia karena berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat selanjautnya, baik di China maupun di kawasan lainnya seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Tokoh utama revolusi menumbangkan Dinasti Manchu adalah seorang militer bernama Yuan Shih-k’ai. Ketika terpilih sebagai Presiden Republik China, Yuan menerapkan sistem pemerintahan otoriter dengan mengabaikan suara di parlemen serta kaum nasionalis yang dipimpin oleh Sun Yat-sen. Pada tahun 1914, Yuan menerapkan sistem pemerintahan diktator dengan cara membubarkan parlemen. Tindakan Yuan tentu saja dianggap bertentangan dengan semangat perubahan sehingga mengecewakan masyarakat China, terutama kaum nasionalis, yang menghendaki adanya pemerintahanyang demokratis yang memperhatikan hak-hak rakyat. Peristiwa ini dicatat dalam sejarah China sebagai kegagalan revolusi pertama dalam masyarakat China.

Salah seorang pemimpin gerakan revolusi China adalah Sun Yat-sen yang mendirikan Kuomintang atau Partai Nasionalis. Dia memimpin gerakan dari China selatan. Sejak tahun 1923, Partai Nasionalis yang dipimpinnya bergabung dengan Partai Komunis Internasional serta Partai Komunis China. Gabungan ketiga partai tersebut menandai adanya gerakan atau front liberal nasional yang anti konservatisme dan anti imperialisme. Sun Yat-sen bukanlah seorang komunis. Dia adalah seorang nasionalis sejati yang memiliki semboyan nasionalisme, demokrasi dan kemakmuran rakyat yang menekankan pada semangat menumbuhkan rasa bangga sebagai banagsa China-Han serta semua golongan masyarakat termasuk kemakmuran para petani. Sun Yat-sen juga menghendaki adanya pemerintahan pusat yang kuat dengan menyatukan seluruh China.

Setelah Sun Yat-sen meninggal tahun 1925, gerakan nasionalis diteruskan oleh Chiang Kai-shek (1887-1975). Pada tahun 1926 dan 1927 Chiang berhasil memimpin pasukan nasionalis untuk menghancurkan pasukan pemerintah yang dikendalikan para warlods di kawasan China utara dan China tengah. Tindakan ini menarik simpati para petani untuk bergabung dengan partai Nasionalis. Pada tahun 1928, dibentuk Pemerintahan di Nanking di China bagian tengah dan segera mendapat pengakuan internasional dari Barat. Sedangkan Jepang menolak terbentuknya pemerintahan tersebut bahkan menganggapnya sebagai ancaman bagi kedudukan Jepang atas Manchuria. Namun demikian, terbentuknya pemerintahan nasionalis yang kuat di Nanking tidak menjamin China tetap bersatu. China hanyalah sebuah negara besar berbasis agraria, sangat majemuk, tidak memiliki infrastruktur komunikasi yang memadai dan sebagian besar rakyatnya masih miskin. Kemajemukan rakyat China serta adanya perbedaan cara pandang dalam membentuk pemerintah pusat yang kuat menyebabkan aliansi dalam gerakan nasionalis mengalami perpecahan.

Persekutuan antara Partai Nasionalis dengan Partai Komunis China segera berakhir dan berujung dengan persaingan sengit. Pada April 1927 Chian Kei-shek segera melikuidasi unsur komunis dalam Partai Nasionalis. Tindakan ini telah menimbulkan konflik berdarah yang memakan banyak korban jiwa.


2. Revolusi Intelektual



Revolusi menumbangkan Dinasti Manchu, rezim otoriter dan imperialisme Barat serta Jepang disebut sebagai revolusi intelektual yang paling berpengaruh dalam sejarah China serta menjadi gagasan positif yang diadopsi oleh negera-negara lain di Asia Tenggara termasuk Indonesia pada awal era Pergerakan Nasional. Revolusi intelektual lainnya adalah gerakan budaya baru dalam bentuk gerakan liberal yang dipepolori oleh kalangan intelektual muda yang berpendidikan Barat dalam kurun waktu 1911-1929. Gerakan tersebut tidak hanya sebagai gerakan anti imperialisme Barat melainkan juga anti terhadap etika konfusianisme lama yang menempatkan rakyat dibawah penguasa, anak laki-laki dibawah seorang bapak dan istri di bawah suami. Gerakan ini juga menghendaki perubahan dalam tatacara penulisasn huruf China menjadi lebih sederhana dan yang menghilangkan strata/status dalam berbahasa. Cara ini mendorong rakyat berpikir lebih lebih jelas serta memudahkan terbentuknya pendidikan yang lebih masal.

Salah seorang tokoh intelektual penganut liberalisme adalah Hu Shih (1991-1962). Hu yang berpendidikan di Amerika Serikat mengadopsi filsafat pendidikan pragmatisme dari John Dewey. Dalam pendangan Hu, liberalisme dan rekonstruksi China merupakan sarana untuk memajukan China sebagai negara besar dengan langkah-langkah terukur sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi China yang majemuk.Selain gerakan liberal, gerakan budaya baru juga ditandai dengan gerakan sosialis Marxisme yang berasal dari Karl Mark, seorang filossof Jerman yang menjadi cikal bakalbagi lahirnya sosialisme komunis. Gerakan ini ditandai dengan upaya menentang kehidupan agama di China serta etika konfusianisme.

Gerakan Marxis di China yang sudah dimodifiaksi oleh Lenin dan dipraktekkan oleh golongan Bolshevik dalam Revolusi di Rusia tahun 1905 dan 1917 dianggap sebagai ajaran yang bisa memberi harapan bagi kaum terdindas. Golongan petani China yang selama bertahun-tahun tertindas oleh golongan tuan tanah (landlord) serta para warlord menjadikan ajaran Marxis sebagai sebuah ideologi yang memberi harapan bagi terbentuknya masyarakat agraris yang makmur. Apabila Partai Komunis di Rusia menjadikan kaum buruh (proletar) sebagaibasis masa maka Partai Komunis China menjadikan kaum petani sebagai pendukung utamanya.

Tokoh utama dari Marxisme di China adalah Mao Tse-tung (1893-1976). Dia memimpin gerakan petani dengan mengadopsi cara-cara revolusioner komunisme. Gerakan tersebut segera disambut oleh para petani yang miskin dan tertekan oleh kaum landlord. Pada tahun 1918, segera setelah komunisme memenangkan revolusi di Rusia tahun 1917, Mao yang saat itu bekerja sebagai asisten pustakawan di Universitas Peking memimpin organisasi buruh di perkotaan.

Pada tahun 1925, setelah terjadi protes kaum buruh terhadap karyawan dan pengusaha Jepang yang menyebar dari kota-kota pesisir timur ke daerah pedalaman, Mao mulai memperhatikan kaum petani secara seksama sebagai kekuatan potensial untuk merebut kekuasaan. Pada September 1927, Mao memimpin revolusi petani untuk menumbangkan rezim militer dan kaum nasionalis yang berkuasa. Tindakan yang gagal ini segera diikuti dengan gerakan lainnya yang lebih besar yang diawali dengan pembagian tanah pertanian secara merata serta memecah kekuatan militernya ke dalam beberapa kelompok gerilya. Setelah tahun 1928, dia berhasil mendirikan pemerintah komunis model soviet di Juichin di China Tenggara sambil menyiapkan serangan ke pemerintah nasionalis di Peking. Gambar di bawah ini memperlihatkan Mao sedang memimpin pasukan gerilya.


3. Persaingan kaum Nasionalis dan Komunis China serta Pengaruhnya




Kegagalan kaum nasionalis dalam mengusir Pendudukan Jepang di Manchuria tahun 1932 dan kemiskinan yang melanda petani China dimanfaatkan oleh Mao Tse-tung dalam menarik simpati masyatakat China termasuk kaum nasionalis untuk bergabung dengan Partai Komunis yang dipimpinnya. Mao mengklaim bahwa pasukan yang dipimpinnya serta Partai Komunis China adalah yang paling mampu untuk mengusir pasukan Jepang dari Manchuria. Dalam persaingan untuk mempertahankan kekuasaannya, kaum nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-sheik berusaha untuk mengepung dan memusnahkan kekuatan komunis yang berpusat di kawasan China tenggara. Pada tahun 1934 usaha itu mengalami kegagalan. Mao segera membangun kekuatannya kembali, mendirikan daerah kekuasaannya dan memobilisasi masa petani dan melakukan reformasi tanah pertanian atau landreform. Agresi militer Jepang di Manchuria merupakan salah satu faktor bagi munculnya kemenangan kaum komunis China.

Pada tahun 1938, pemerintahan Nasionalis Chiang Kai-sheik memindahkan pusat pemerintahannya ke Chungking di pedalaman China. Pasukan Jepang segera memperluas pendudukannya di kawasan China utarahingga China tengah. Di kawasan itu, peperangan masih terus berlangsung hingga 1939. Untuk melawan pasukan Jepang, pasukan Mao melakukan perang gerilya yang ditempatkan di daerah pedesaan denan mengambil posisi di belakang garis pertahanan Jepang. Sementara itu, pasukan kaum nasionalis lebih banyak berkonsentrasi untuk mempertahankan pusat pemerintahan. Dalam pandangan kaum petani, pasukan Mao dianggap lebih patriotis dibandingkan dengan kaum nasionalis. Propaganda untuk mengadakan landreform dan distribusi tanah pertanian lebih menarik bagi kaum petani.

Peperangan dengan Jepang menyedot sumber daya yang sangat besar dan melemahkan pemerintahan nasionalis. Peperangan telah menimbulkan kerusakan infrastruktur di seluruh China, inflasi yang besar, moral yang menurun serta kacaunya kehidupan masyarakat. Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II di Pasifik tahun 1945, kaum nasionalis dan komunis segera berebut untuk menduduki wilayah yang ditinggalkan Jepang. Terjadi perang sipil yang menimbulkan banyak korban jiwa antara kaum nasionalis dan komunis pada April 1946. Kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-sheik mulai kehilangan kekuatannya. Sebaliknya, kaum komunis dapat mengerahkan pasukannya untuk memukul mundur pasukan nasionalis yang mulai terpecah belah pada tahun 1948.
Setahun kemudian (1949), Chiang Kai-sheik dan satu juta pendukungnya mengungsi ke Taiwan. Di Taiwan, Chiang mempertahankanpemerintahan nasionalis. Pada tahun yang sama Mao-Tse-tung memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China yang berdasarkan pada sistem pemerintahan komunis.


Revolusi China yang berlangsung lama tidak hanya berpengaruh dalam kehidupan bernegara di China melainkan juga di beberapa kawasan lain di Asia. Gerakan nasional di Indonesia, misalnya, mengadopsi nilai-nilai nasionalisme dari Sun Yat-sen serta komunis berbasis petani dari Mao Tse-tung. Gagasan tentang pembentukan negara bangsa yang dicetuskan oleh kaum nasionalis dalam menentang kekuasaan asing, terutama Barat dan Jepang, menginspirasi negara-negara Asia untuk melakukan gerakan yang sama pada awal abad ke-20. Di mata rakyat Asia yang masih diduduki oleh imperialis Barat, konsep kesetaraan kelas serta reformasi pertanian mengilhami para petani, yang merupakan penduduk sebagian besar negara-negara Asia, untuk mengadopsi ajaran komunis sebagai ideologi dalam melawan imperialisme barat


Baca juga : Revolusi Rusia

Related Posts

Silakan pilih sistem komentar anda ⇛   

0 komentar untuk Sejarah Berlangsungnya Revolusi China